FONOLIGI DALAM LINGUISTIK
UMUM
Secara etimologis kata fonologi berasal dari gabungan kata fon
yang berarti bunyi dan logi yang berarti ilmu. Sebagai sebuah ilmu, fonologi
lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari,
membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi bahasa yang di produksi oleh
alat–alat ucap manusia.
Yang
di kaji fonologi ialah bunyi–bunyi bahasa sebagi satuan terkecil dari ujaran
beserta dengan gabungan antar bunyi yang membentuk silabel atau suku kata.
Serta juga dengan unsur-unsur suprasegmentalnya seperti tekanan, nada, hentian
dan durasi.
Satu
tingkat diatas satuan silabel ialah satuan morfem yang menjadi objek kajian
linguistik morfologi. Bedanya silabel dengan morfem adalah kalau silabel tidak
memiliki makna, maka morfem mempunyai makna. Secara kuantitatif sebuah morfem,
bisa sama atau lebih besar dari pada sebuah silabel.
Morfologi
yang lazim di artikan sebagai kajian mengenai proses – proses pembentukan kata
dalam kajiannya juga masih memerlukan bantuan kajian fonologi. Misalnya dalam
kasus yang disebut morfofonemik akan dibicarakan adanya peruban bunyi,
penambahan bunyi, pergeseran bunyi, dan sebagainya sebagai akibat dari adanya
proses pertemuan morfem dengan morfem, terutama antara morfem afik dengan
morfem dasar atau morfem akar.
Dalam
beberapa bahasa tertentu unsur suprasegmental yang juga menjadi objek kajian
fonologi seperti nada, tekanan, dan durasi akan memberi makna pula tehadap
wujud sebuah morfem atau kata. Jadi kajian fonologi masih terlibat dalam kajian
morfologi.
Di
atas satuan morfem ada satuan ujar yang disebut kata, frase, klausa dan (kalau
ujarannya dalam bentuk wacana) kalimat, yang menjadi objek kajian linguistik
bidang sintaksis. Dalam kajian sintaksis ini fonologi juga masih terlihat
karena seringkali makna sebuah ujaran (kalimat) tergantung pada unsur-unsur
suprasegmentalnya. Misalnya ujaran “guru baru datang” akan bermakna ‘guru itu
terlambat’. Apabila diberi jeda antara kata guru dan kata baru; tetapi akan
bermakna ‘guru itu baru diangkat’. Apabila di beri jeda antara kata “baru” dan
kata “datang”.
Begitu
juga, sebuah ujaran (kalimat) yang sama akan berbeda modus dan maknanya apabila
di beri intonasi final yang berbeda. Kalau diberi intonasi deklaratif kalimat
itu menjadi sebuah kalimat deklaratif, kalau diberi intonasi introgatif kalimat
itu akan berubah menjadi kalimat introgatif; dan kalau intonasi interjektif
akan menjadi sebuah kalimat interjektif.
Fonetik adalah cabang kajian
linguistik yang meneliti bunyi-bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi-bunyi
itu dapat membedakan makna kata atau tidak. Hal ini berbeda dengan fonemik yang
meneliti bunyi-bunyi bahasa dengan melihat bunyi itu sebagai satuan yang dapat
membedakan makna kata.
Kemudian, berdasarkan dimana
beradanya bunyi bahasa itu sewaktu dikaji, dibedakan adanya tiga macam fonetik,
yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Sewaktu
bunyi itu berada dalam proses produksi di dalam mulut penutur, dia menjadi
objek kajian fonetik artikulatoris atau fonetik organis. Sewaktu bunyi bahasa
itu berada atau sedang merambat di udara menuju telinga pendengar, dia menjadi
objek kajian fonetik akustik. Lalu, sewaktu bunyi bahasa itu sampai atau berada
di telinga pendengar, dia menjadi objek kajian fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris disebut juga
fonetik organis atau fonetik fisiologis meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa
itu diproduksi oleh alat-alat ucap manusia. Pembahasannya, antara lain meliputi
masalah alat-alat ucap yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa itu;
mekanisme arus udara yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa; bagaimana
bunyi bahasa itu dibuat; mengenai klasifikasi bunyi bahasa yang dihasilkan
serta apa kriteria yang digunakan; mengenai silabel; dan juga mengenaio unsur-unsur
atau ciri-ciri suprasegmental, seperti tekanan, jeda, durasi, dan nada.
Fonetik akustik yang objeknya adalah
bunyi bahasa ketika merambat di udara, antara lain membicrakan: gelombang bunyi
beserta frekuensi dan kecepatannya ketika merambat di udara, spectrum, tekanan,
dan intensitas bunyi. Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi
bunyi, serta pengukuran akustik itu. Kajian fonetik akustik lebih mengarah
kepada kajian fisika dari pada kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki
kepentingan di dalamnya.
Fonetik audiotori meneliti bagaimana
bunyi-buyni bahasa itu “diterima” oleh telinga, sehingga bunyi-bunyi itu di
dengar dan dapat di pahami. Dalam hal ini tetunya pembahsan mengenai struktur
dan fungsi alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana mekanisme
penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu, kiranya
kajian fonetik audiotori lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran, termasuk
kajian neurologi.
Dari ketiga jenis fonetik itu jelas
yang paling berkaitan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris,
karena fonetik ini sangat berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi bahasa itu
diproduksi atau dihasilkan. Sedangakan fonetik akustik lebih berkenaan dengan
kajian fisika, yang dilakukan setelah bunyi-bunyi itu dihasilkan dan sedang
merambat di udara. Kajian mengenai frekuensi dan kecepatan gelombang bunyi
adalah kajian bidang fisika bukan bidang linguistik. Begitupun kajian linguistik
audiotoris lebih berkaitan dengan ilmu kedokteran dari pada linguistik. Kajian
mengenai struktur dan telinga jelas mengenai struktur kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta :
Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar