Senin, 01 September 2014

FONOLOGI DALAM LINGUISTIK UMUM



FONOLIGI DALAM LINGUISTIK  UMUM
            Secara etimologis  kata fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti bunyi dan logi yang berarti ilmu. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi bahasa yang di produksi oleh alat–alat ucap manusia.
Yang di kaji fonologi ialah bunyi–bunyi bahasa sebagi satuan terkecil dari ujaran beserta dengan gabungan antar bunyi yang membentuk silabel atau suku kata. Serta juga dengan unsur-unsur suprasegmentalnya seperti tekanan, nada, hentian dan durasi.
Satu tingkat diatas satuan silabel ialah satuan morfem yang menjadi objek kajian linguistik morfologi. Bedanya silabel dengan morfem adalah kalau silabel tidak memiliki makna, maka morfem mempunyai makna. Secara kuantitatif sebuah morfem, bisa sama atau lebih besar dari pada sebuah silabel.
Morfologi yang lazim di artikan sebagai kajian mengenai proses – proses pembentukan kata dalam kajiannya juga masih memerlukan bantuan kajian fonologi. Misalnya dalam kasus yang disebut morfofonemik akan dibicarakan adanya peruban bunyi, penambahan bunyi, pergeseran bunyi, dan sebagainya sebagai akibat dari adanya proses pertemuan morfem dengan morfem, terutama antara morfem afik dengan morfem dasar atau morfem akar.
Dalam beberapa bahasa tertentu unsur suprasegmental yang juga menjadi objek kajian fonologi seperti nada, tekanan, dan durasi akan memberi makna pula tehadap wujud sebuah morfem atau kata. Jadi kajian fonologi masih terlibat dalam kajian morfologi.
Di atas satuan morfem ada satuan ujar yang disebut kata, frase, klausa dan (kalau ujarannya dalam bentuk wacana) kalimat, yang menjadi objek kajian linguistik bidang sintaksis. Dalam kajian sintaksis ini fonologi juga masih terlihat karena seringkali makna sebuah ujaran (kalimat) tergantung pada unsur-unsur suprasegmentalnya. Misalnya ujaran “guru baru datang” akan bermakna ‘guru itu terlambat’. Apabila diberi jeda antara kata guru dan kata baru; tetapi akan bermakna ‘guru itu baru diangkat’. Apabila di beri jeda antara kata “baru” dan kata “datang”.
Begitu juga, sebuah ujaran (kalimat) yang sama akan berbeda modus dan maknanya apabila di beri intonasi final yang berbeda. Kalau diberi intonasi deklaratif kalimat itu menjadi sebuah kalimat deklaratif, kalau diberi intonasi introgatif kalimat itu akan berubah menjadi kalimat introgatif; dan kalau intonasi interjektif akan menjadi sebuah kalimat interjektif.
            Fonetik adalah cabang kajian linguistik yang meneliti bunyi-bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi-bunyi itu dapat membedakan makna kata atau tidak. Hal ini berbeda dengan fonemik yang meneliti bunyi-bunyi bahasa dengan melihat bunyi itu sebagai satuan yang dapat membedakan makna kata.
            Kemudian, berdasarkan dimana beradanya bunyi bahasa itu sewaktu dikaji, dibedakan adanya tiga macam fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Sewaktu bunyi itu berada dalam proses produksi di dalam mulut penutur, dia menjadi objek kajian fonetik artikulatoris atau fonetik organis. Sewaktu bunyi bahasa itu berada atau sedang merambat di udara menuju telinga pendengar, dia menjadi objek kajian fonetik akustik. Lalu, sewaktu bunyi bahasa itu sampai atau berada di telinga pendengar, dia menjadi objek kajian fonetik auditoris.
            Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diproduksi oleh alat-alat ucap manusia. Pembahasannya, antara lain meliputi masalah alat-alat ucap yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa itu; mekanisme arus udara yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa; bagaimana bunyi bahasa itu dibuat; mengenai klasifikasi bunyi bahasa yang dihasilkan serta apa kriteria yang digunakan; mengenai silabel; dan juga mengenaio unsur-unsur atau ciri-ciri suprasegmental, seperti tekanan, jeda, durasi, dan nada.
            Fonetik akustik yang objeknya adalah bunyi bahasa ketika merambat di udara, antara lain membicrakan: gelombang bunyi beserta frekuensi dan kecepatannya ketika merambat di udara, spectrum, tekanan, dan intensitas bunyi. Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi bunyi, serta pengukuran akustik itu. Kajian fonetik akustik lebih mengarah kepada kajian fisika dari pada kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki kepentingan di dalamnya.
            Fonetik audiotori meneliti bagaimana bunyi-buyni bahasa itu “diterima” oleh telinga, sehingga bunyi-bunyi itu di dengar dan dapat di pahami. Dalam hal ini tetunya pembahsan mengenai struktur dan fungsi alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu, kiranya kajian fonetik audiotori lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran, termasuk kajian neurologi.
            Dari ketiga jenis fonetik itu jelas yang paling berkaitan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris, karena fonetik ini sangat berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi bahasa itu diproduksi atau dihasilkan. Sedangakan fonetik akustik lebih berkenaan dengan kajian fisika, yang dilakukan setelah bunyi-bunyi itu dihasilkan dan sedang merambat di udara. Kajian mengenai frekuensi dan kecepatan gelombang bunyi adalah kajian bidang fisika bukan bidang linguistik. Begitupun kajian linguistik audiotoris lebih berkaitan dengan ilmu kedokteran dari pada linguistik. Kajian mengenai struktur dan telinga jelas mengenai struktur kedokteran.






DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar